PRESS RELEASE : KEADILAN UNTUK L


SURAT PERNYATAAN
Nomor : 001/PR/KAKS-U/E/IX/2022

Pertanggal 7 Februari 2022 melalui link pengaduan milik Komite, Penyintas L melaporkan kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh AF, mahasiswa Universitas Hasanuddin (UNHAS) fakultas MIPA yang saat ini masih aktif berkuliah. Sebelumnya, advokasi kasus ini telah dilakukan melalui kerja sama dengan himpunan AF. Tetapi pihak himpunan AF menyatakan bahwa AF tidak melakukan kekerasan seksual, dengan berlandaskan tidak eksplisitnya bukti yang menyatakan bahwa Penyintas L menolak atau tidak menyetujui perbuatan yang dilakukan oleh AF.
Pada bulan November setelah rapat kerja BEM Fakultas, warga himpunan, termasuk AF, L dan beberapa teman seangkatan lainnya bermalam di ruang himpunan program studi, dengan kondisi lampu di ruang himpunan yang masih menyala AF kemudian datang dan duduk di samping L yang berbaring bersama teman-temannya yang sedang tertidur. AF lalu menyentuh bagian payudara L yang kemudian ditepis. Tetapi kemudian AF menyentuh paha dan betis L. Penyintas hanya bisa terdiam hingga AF fokus kembali dengan kerjaanya.
Sebelum kasus pelecehan yang terjadi di himpunan, kasus serupa telah terjadi beberapa kali yang mengakibatkan L merasa tidak aman dan nyaman bila berada di sekitar AF maupun area kampus. Kondisi ini diperparah dengan AF dugaan manipulatif teman teman L maupun senior-senior himpunan dengan menyatakan bila kasus yang terjadi dikarenakan rasa saling suka dan sama-sama mau. AF juga memanipulasi L dengan cara menyalahkan L atas kasus ini, dengan dalih “pelecehan hanya terjadi sekali” “melapormko, kauji pasti lebih malu” dan mengancam L dengan mengatakan “liatmi siapa yang hidup besok”.
Tanggal 7 Februari 2022, L kemudian melaporkan kasusnya ke Komite. Setelah pelaporan ini, Komite mengirimkan surat pemberitahuan kepada himpunan program studi yang bersangkutan dengan harapan penyelidikan kasus dan penjatuhan sanksi dapat dilakukan sesegera mungkin.

Adapun upaya yang dilakukan ialah melakukan pemulihan psikologi L dan pengumpulan bukti-bukti berupa chat, rekaman suara maupun keterangan teman teman L. Selama proses pemulihan, L seringkali dihubungi maupun dimintai keterangan terus menerus oleh teman-teman AF baik dalam proses perkuliahan maupun diluar perkuliahan. Karena kondisi ini, L sering kali tidak masuk kuliah serta tidak menyelesaikan kelasnya dikarenakan L mengalami gangguan kecemasan dan serangan panik. Hasil pemeriksaan psikiater yang bertanggung jawab terhadap L mendiagnosa L mengalami Skizofrenia Paranoid yang mengganggu aktivitas akademik maupun aktivitas sehari hari L.
Audiensi dengan pihak himpunan AF sayangnya menghasilkan hasil yang tidak sesuai dengan kebutuhan L. Kami mengecam himpunan yang berdiri sejajar dan merangkul AF sebagai pelaku pelecehan seksual terhadap L. Himpunan tersebut menolak penjatuhan sanksi berupa pemecatan keanggotaan AF dengan pembelaan-pembelaan berupa :
• Tidak adanya bukti eksplisit yang dapat membuktikan bahwa L tidak memberikan consent saat terjadinya pelecehan
• Tidak cukupnya bukti maupun saksi yang dapat membuktikan bahwa AF melakukan pelecehan
• Meragukan diagnose dokter tentang kondisi psikologi L yang didiagnose mengalami
Skizofrenia Paranoid sebagai kondisi yang diakibatkan karena pelecehan seksual oleh AF

Komite telah menjelaskan berdasarkan peristiwa yang terjadi bahwa pembelaan diatas tidak
berlandaskan fakta jelas dan bersifat subjektif.
• Keteranga terduga, yang dalam hal ini adalah AF adalah salah satu bukti sah dalam penentuan dugaan terhadap seseorang. Pihak Himpunan tidak mengindahkan keterangan AF yang telah berulang kali menyatakan dan mengaku telah menyentuh L tanpa meminta consent (bukti rekaman suara pengakuan AF dimiliki oleh pendamping korban).
• Pihak himpunan tidak memperdulikan adanya kontradiktif dalam pernyataan AF yang kemudian mempertanyakan reaksi L dan membuatnya merasa bersalah karena tidak menolak (walaupun L sempat menepis tangan AF) tapi ini tidak diakui AF sebagai bentuk penolakan.
• Pengurus himpunan tidak memiliki kapabilitas untuk meragukan diagnose dokter yang menangani L. Gejala Skizofrenia Paranoid ditandai dengan adanya delusi dan halusinasi, khususnya halusinasi pendengaran. Kondisi yang dialami L adalah adanya suara suara atau bisikan yang menyalahkan L, seperti “sama-sama mau jko, sama-sama suka jko, berduako salah, kau yang salah”. L juga merasa tidak aman dan nyaman berada dilingkungan kampus dikarenakan L selalu merasa diikuti oleh AF dan diperhatikan oleh orang orang, khususnya di fakultas dan jurusan. Sebelum kasus ini, Penyintas L tidak pernah merasakan atau mengalami kejadian-kejadian tersebut. Artinya, kondisi Skizophrenia paranoid ini kemudian muncul setelah kasus pelecehan terjadi.


Adapun tuntutan-tuntutan dari pihak Penyintas L ialah :

  1. Penjatuhan sanksi kepada AF dengan memperhatikan ketidakberulangan kasus (rehabilitasi pelaku) dan memperhatikan keamanan dan pemulihan penyintas (layanan psikolog).
  2. Pemilihan jadwal kuliah dalam ruangan maupun diluar ruangan AF yang berbeda dari jadwal Penyintas L
  3. Permintaan maaf secara terbuka AF dan pemulihan nama baik Penyintas L
  4. Perjanjian keamanan Penyintas L berupa pemutusan komunikasi dari kedua pihak
  5. Menuntut pihak Himpunan dan Departemen terkait untuk melakukan pembenahan regulasi kelembagaan untuk pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual yang berperspektif korban guna mengantisipasi subjektifitas dan reviktimisasi terhadap korban dalam pengambilan keputusan.

Leave a comment