Kampus dan Agenda Kekerasan Seksual

oleh: Arinda Widyani Putri

Salam sehat, kamerad yang budiman!

            Baru-baru ini kita baru saja disuguhkan kabar melegakan dari Mas Menteri. Oktober kemarin, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemenristekdikti) telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Tentu saja ini bukan akhir dari perjuangan pengentasan Kekerasan Seksual. Namun setidaknya permendikbud ini menjadi angin segar bagi para korban dan setiap orang yang membela korban.

            Terbitnya regulasi kampus ini tidak lepas dari pro dan kontra masyarakat. Salah satu suara dari pihak kontra mengatakan bahwa aturan ini membuat kampus melegalkan seks bebas, perkara poin konsensual. “Tanpa persetujuan korban” yang ditafsirkan sebagai bentuk dukungan kampus akan perzinahan menjadi senjata pihak kontra dalam menolak regulasi ini. Tapi, apakah setiap hal harus diatur secara tertulis dalam regulasi? Jika aturan tidak tertulis secara gamblang, bukan berarti menjadi boleh untuk dilakukan. Masih ada norma sosial dan norma agama yang menjadi dasar bertindak kita sebagai manusia. Tapi tulisan ini tidak akan jauh membahas kesana. Sebaliknya, tulisan ini hadir untuk mengulik pentingnya kehadiran Permendikbud ini sebagai senjata utama perlawanan kekerasan seksual, khususnya dalam dunia kampus.

Feminis Kampus, Agenda Kesetaraan, dan Kekerasan Seksual

Feminisme sebagai suatu gerakan sosial, ideologi, dan alat analisis menjadi penting untuk digodong dalam dunia kampus. Saya harap teman-teman pembaca sudah memahami bahwa feminisme punya banyak aliran dan agenda yang berbeda. Namun secara substansial, feminisme lahir sebagai suara lantang atas ketertindasan yang dialami kaum perempuan. Feminis adalah sebutan bagi mereka yang membawa dan mendukung agenda feminisme. Feminis percaya bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama dalam kehidupan sosial.

Di beberapa kampus, kata “feminis” masih menjadi kata yang cukup sensitif. Feminis itu berbahaya, pemarah, baperan, pembenci laki-laki, perokok, dll – adalah secuil contoh pelabelan dari teman-teman di kampus yang acapkali menjadi bahan gibahan pada agenda duduk-duduk santai di himpunan atau sekret lembaga. Kata-kata tersebut tentu saja dilayangkan oleh mereka yang hobi melakukan generalisasi dari satu kasus (Sebut saja kesalahan berfikir?).

Feminis kampus – sebutan bagi mereka yang seringkali membawa agenda krusial seperti kekerasan seksual dan mengisi kajian-kajian gender tidak terlepas dari pertanyaan-pertanyaan dan sindiran halus dalam agenda kumpul harian.

Mengapa kalian ingin setara dengan laki-laki?

Masa mau kenalan di jalan saja sudah masuk Pelecehan Seksual?

Kasi kesempatan perempuan juga, nanti si feminis protes lagi.

Kalau mau setara, seharusnya kalian juga angkat galon ke himpunan.

Kekerasan Seksual bukan agenda utama gerakan kita, dll.

Kawan, kalimat-kalimat di atas seringkali dikeluarkan oleh mereka yang tampil sebagai aktivis kemanusiaan dan berdemo di jalan raya atas nama rakyat. Tapi di lain sisi justru mencemooh gerakan kesetaraan. Dalam beberapa hal, kita memang senang berada dalam paradoks.

Terlepas dari sensitifitas di atas, pentingkah memperdebatkan pendeklarasian diri sebagai feminis atau bukan? Seperti kata bell hooks, feminis untuk semua orang. Bagi saya, teman-teman yang ramah akan kemanusiaan dan membenci ketertindasan, laki-laki maupun perempuan, secara tidak langsung adalah seorang feminis – ya, laki-laki juga bisa menjadi seorang feminis. Lebih lanjut mengenai feminisme dan feminis, kita belajar sama-sama yaaa, gengg.

Saat ini dalam dunia kampus, lembaga mahasiswa sampai ke mata kuliah prodi telah terjangkau oleh agenda kesetaraan, setidaknya sekali dua kali. Diskursus mengenai perempuan dan perdebatan seperti “Apakah perempuan harus bersekolah atau tidak, apakah kodrat perempuan adalah bekerja di dapur, dll” telah menjadi agenda rutin dalam setiap corong perdiskusian. Di luar pembahasan-pembahasan tersebut, hadir pula fenomena lain yang sangat krusial yaitu kekerasan seksual. Lantas apa hubungan agenda kesetaraan dan kekerasan seksual? Kekerasan Seksual adalah buah dari hal-hal yang tidak tuntas dari agenda kesetaraan – pemikiran maupun tindakan. Itulah sebabnya, perjuangan kesetaraan dan kekerasan seksual di kampus haruslah berjalan berdampingan.

Kekerasan Seksual di Kampus dan hal-hal yang menopangnya

Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal (Permendikbud No.30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi).

Mengapa bisa terjadi Kekerasan Seksual di Kampus? Bukankah kampus adalah gudangnya orang-orang intelek? Dulu, sayapun menanyakan hal yang sama. Tetapi data yang hadir berhasil membuat saya berhenti terus menanyakan pertanyaan yang sama. Hannah Arendt dalam Kebenaran dan Dusta dalam Politik berpendapat bahwa orang-orang yang berkuasa dan berintelektual, lebih rentan menjadi pelaku kejahatan sebab potensi (kekuasaan dan informasi) lebih yang dimiliki membuatnya lebih mudah menghadirkan tipu daya.  Pada 2019, Tirto.id melakukan liputan khusus mengenai Testimoni Kekerasan Seksual bagi 174 penyintas pada 79 kampus yang tersebar pada 29 Kota di Indonesia. Dari 174 penyintas, hanya sebagian kecil yang berani melaporkan kasusnya. Sebagian besarnya merasa lebih baik diam. Data-data lain dapat kita jumpai pada data Komnas Perempuan, LBH APIK, dan lembaga lain.

Data di atas tentunya juga menjadi tamparan bagi kawan-kawan yang sering bertanya “Mengapa para feminis masih ribut menuntut kesetaraan? Padahal sekarang perempuan sudah diberi akses ke pendidikan dan ruang publik”. Kamerad, pendidikan tidak menjadi jawaban mutlak atas ketimpangan gender yang hadir. Faktanya, dalam dunia pendidikan posisi perempuan masih sangat rentan akan tindak kekerasan. Lantas, apa yang menjadi penyokong awetnya kekerasan seksual dalam dunia kampus?

  • Relasi Kuasa

Relasi kuasa adalah cikal bakal mengapa penanganan kasus kekerasan seksual di kampus seringkali berhenti di tengah jalan dan mengecewakan korban. Untung saja jika dilaporkan, beberapa korban bahkan memilih untuk mendiamkan kekerasan yang dialami karena adanya intimidasi dari pihak pelaku. Dari beberapa kasus yang diangkat media dan tercatat dalam data, Pelaku seringkali berasal dari kalangan mahasiswa dan dosen. Modus pelaku seringkali dibungkus dalam kepentingan akademik, atau keperluan organisasi. Perilaku seperti ini tentu sangat melecehkan kampus dan lembaga mahasiswa sebagai gerbang lahirnya gerakan sosial dan intelektualisme. Mirisnya lagi, kasus KS seringkali ditutup demi menjaga #namabaikkampus.

  • Pembahasan menganai kekerasan seksual yang dianggap tabu

Kasus-kasus yang terjadi di kampus biasanya hanya berakhir menjadi bahan perbincangan tertutup mahasiswa, dan tidak ada keberanian untuk melaporkan. Hal ini juga didukung oleh stigma negatif pada korban KS – korban dianggap sudah tidak suci (hilang keperawanan). Reviktimisasi pada korban juga tidak jarang terjadi. Sebenarnya, poin ini menegaskan pentingnya pendidikan seksualitas yang komprehensif agar hal-hal yang berbau seksualitas tidak ditabukan lagi sehingga menghambat kita untuk speak up pada hal-hal yang sangat mendesak. Comprehensive Sexuality Education mengajarkan berzina? sama sekali tidak, bestie. Pembahasan dalam CSE adalah pembahasan yang kompleks. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia menyebutkan bahwasanya ada tujuh komponen dalam CSE yang dijabarkan secara kompleks. Diantaranya ialah Gender, Kespro dan HIV, Hak Seksual dan HAM, Kepuasan, Kekerasan, Keragaman, serta Hubungan Manusia. Tujuh poin ini kemudian memiliki sub-poin tersendiri yang membahas poin utama secara mendetail.

  • Kurang edukasi & advokasi

Data Kekerasan Seksual di kampus yang tercatat hanyalah puncak gunung es. Masih banyak kasus yang belum tercatat. Salah satu penyebabnya ialah, korban tidak sadar bahwasanya dirinya merupakan korban pelecehan. Inilah sebabnya, ruang-ruang edukasi akan kekerasan seksual haruslah terus dirawat secara berkala dan tidak hanya muncul di permukaan sebagai momentum hari-hari besar. Selain itu, advokasi wacana kekerasan seksual juga harus terawat dengan baik agar tidak menjadi pembahasan yang pasang-surut. Kasus kekerasan seksual harus terus diangkat ke permukaan karena mengingat sifatnya yang sangat mendesak dan meresahkan.

  • Normalisasi tindak kekerasan

Penopang lain dari kasus kekerasan seksual di kampus ialah upaya normalisasi. Kawan-kawan mahasiswa berupaya mendegradasi jenis kekerasan seksual yang dianggap sepele saja dan tidak perlu diperdebatkan. Hal ini menyebabkan korban juga berusaha untuk tidak mempermasalahkan padahal sebenarnya korban merasa sangat tidak nyaman akan tindakan-tindakan yang dianggap sepele. Kekerasan seksual bukan hanya pemerkosaan dan pencabulan, ya!

Kamerad yang budiman, Permendikbud PPKS tidak sekedar lahir sebagai formalitas. Permendikbud ini  lahir dari hasil keresahan dan ketidaknyamanan korban akan fenomena kekerasan seksual yang dialami. Permendikbud ini lahir sebagai alarm kegentingan Kekerasan Seksual, dan sudah seharusnya menjadi salah satu agenda prioritas bagi kampus dan lembaga-lembaga mahasiswa. Sebab Kekerasan Seksual bisa terjadi kapanpun, dimanapun, pada siapapun, serta oleh siapapun tanpa melihat latar belakang keilmuan.

Leave a comment