Kekerasan seksual : tidak diabaikan sekaligus tidak dilihat secara parsial.

Oleh : Faiztra

Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 adalah hal yang urgen untuk dijemput dalam tataran kampus. Ada tiga poin fundamental yang menjadi acuan pertimbangan dalam pengesahan permendikbud ini : pertama, setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual sesuai dengan amanat konstitusi. Kedua, eskalasi kasus kekerasan seksual secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pada penurunan kualitas pendidikan. Ketiga, diperlukan sebuah jaminan kepastian hukum dalam penangan kasus kekerasan seksual.1

Maka dari itu, perguruan tinggi manapun yang tidak memberikan atensi serius kepada penangan kasus kekerasan seksual adalah perguruan tinggi yang mematikan esensi dasar pendidikan—yaitu memanusiakan manusia.

(1)

Saya telah bertemu dengan banyak kawan. Ada yang datang menangis sambil tidak mampu mengatur napas karena diancam oleh pacarnya bahwa jika ia tidak dilayani secara seksual, foto bugilnya akan disebar. Ada yang dihantui rasa takut setengah mati karena dosen pembimbingnya sendiri melayangkan ciuman di pipinya dengan alasan ‘ini bentuk kasih sayang saya sebaga dosen’. Ada yang tidak punya lagi semangat melanjutkan sekolah, karena senior yang dianggap tahu betul soal keadilan, kemanusiaan dan kaderisasi menggerayangi tubuhnya tanpa sepengetahuan dan persetujuannya. Ada yang dinikahi secara kontrak atas dalih agama kemudian dieksploitasi secara seksual. Ada juga yang kalang kabut minta tolong karena kepalanya dipukul berkali kali oleh pacarnya yang dijuluki sebagai senior top dalam kampus. Sangat ironi, jika cerita ini hanya lalu lalang di dalam kampus—tempat dimana cita cita peradaban ditanamkan.

Contoh yang saya sebutkan sebelumnya hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan kasus yang pernah saya temui sebagai anggota komite kekerasan seksual Universitas Hasanuddin. Itu pun belum terhitung yang datang bercerita dalam bentuk personal, bukan ke lembaga. Terlebih dengan prinsip kasus kekerasan seksual yang berbentuk gunung es ; Hanya sedikit yang berani muncul ke permukaan dan masih banyak yang tertanam dan tidak terlihat. Bagaimanya kabar kasus yang tidak dapat kami jangkau?

Polemik ini juga terjadi di banyak tempat dengan model kasus yang berbeda-beda. Tahun 2019, pelaku dengan inisial AA, seorang mahasiswa fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makkasar yang berulah di toilet kampus dengan memasang kamera GoPro dan Handphone untuk kepuasan seks pribadi.2 Di tahun yang sama, mencuat pula kasus Agni, seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Gadjah Mada yang dilecehkan pada saat proses KKN sedang berlangsung. Mirisnya, kasus Agni sempoyongan karena kekosongan aturan yang menyulitkan Agni mencari keadilan dan membuatnya tersudut bahkan depresi.3 Tidak hanya itu, kabar juga datang dari Universitas Negeri Padang. Pelaku adalah seorang dosen yang melayangkan aksinya pada kegiatan pentas seni akhir tahun. Pelaku menarik korban ke WC perempuan dan melakukan hal bejat kepada korban, dan kasus-kasus lainnya.4

Survei jaringan muda setara, sebuah organisasi akar rumput beranggotakan mahasiswi pemerhati isu kekerasan seksual dari berbagai kota di Indonesia, memaparkan bahwa 54 dari 70 mahasiswi di Samarinda pernah mengalami kekerasan seksual.5 Data ini juga diperkuat dengan hasil survey dari konsorsium #NamaBaikKampus yang terdiri dari wartawan Tirto, Vice, dan The Jakarta Post yang menemukan 179 anggota sivitas akademika dari 79 perguruan tinggi yang tersebar di 29 kota di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual.6

(2)

Pengawalan Peraturan khusus terkait penanganan kasus kekerasan seksual di dalam lingkup perguruan tinggi bukanlah bentuk glorifikasi isu tertentu, bahwa isu ini lebih penting dibandingkan dengan isu yang lain, atau kasus kekerasan seksual didalam kampus lebih penting dibandingkan dengan ruang yang lain. Urgensi pengawalan kasus kekerasan seksual dalam lingkup kampus dilandasi atas 4 hal utama : Pertama,  eskalasi fakta empiris dilapangan yang diikuti kekosongan aturan di berbagai kampus. Kedua, beberapa aturan yang berlaku tidak mengakomodir perkembangan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang bentukannya semakin variatif, misalnya Kekerasan Berbasis Gender Online atau KBGO.—kan, hari ini, Kekerasan seksual tidak melulu persoalan pemaksaan penetrasi penis ke vagina, bukan? . Ketiga, payung hukum kekerasan seksual secara nasional hingga saat ini masih terperangkap dalam polemik yang tarik ulur, sehingga jika diperhadapkan dengan suatu kasus kekerasan seksual dalam tataran kampus, korban dan pendamping mencari keadilan dengan kondisi yang kalangkabut. Keempat, pengawalan terhadap idealitas kampus sebagai tempat kemerdekaan untuk berpikir dan belajar haruslah diikuti oleh jaminan ruang aman bagi seluruh pihak tanpa terkecuali. Dan Kelima, pengawalan ini adalah salah satu bentuk penuntutan terhadap tanggung jawab negara dalam menjamin kebutuhan fundamental di ruang pendidikan.

Secara lebih khusus, permendikbud ini menyediakan pedoman bagi perguruan tinggi untuk membudayakan praktik pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berpihak pada korban, seperti : Pertama, mengenal konsep relasi kuasa dan gender dalam mendefenisikan kekerasan seksual (Bab I ketentuan Umum), Kedua, mekanisme pencegahan yang komprehensif dan melibatkan setiap unsur civitas akademika (Bab II pencegahan), ketiga, menjamin pemulihan korban ( Bab penangan bagian kelima), keempat, mencegah kriminalisasi korban dan pembela dalam penanganan kasus yang sedang berlangsung (bab penanganan bagian III, kelima, sanksi yang tegas dalam penanganan kekerasan seksual di kampus (bab penanganan bagian IV), Keenam, menjamin ruang partisipasi warga kampus untuk mendukung korban melalui pembentukan satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Bab IV Satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual), ketujuh, memberikan perlindungan hak korban dan saksi )Bab II penanganan bagian ketiga perlindungan), kedelapan, memastikan tanggung jawab perguruan tinggi dalam meningkatkan keamanan kampusnya dari kekerasan seksual, kesembilan, mengakomodasi kebutuhan disabilitas dalam setiap pencegahan dan penangan kekerasan seksual, kesepuluh, mengakomodasi keragaman kondisi kampus di Indonesia. 1

(3)

Ada beberapa polemik dengan kehadiran permendikbud ini. Jika saya perhatikan, polemiknya hampir sama dengan bentuk penolakan RUU PKS kemarin yaitu menyoal tentang pelegalan seks bebas dan LGBT. Tidak hanya itu, koalisi penolakan datangnya dari kelompok yang ‘itu-itu’ saja. Kelompok yang merasa paling suci dan isi kepalanya dipenuhi tentang zina. Saya sempat terbersit, Apakah ini hanyalah dampak kebencian dari deal-deal politik yang membuat para penolak tidak melihat aturan ini secara objektif?

Menjawab penolakan itu, baiknya kita berangkat dari keberanian dan kejujuran untuk mengakui bahwa, terjadi peningkatan jumlah kasus di perguruan tinggi dan belum ada aturan yang secara komprehensif dapat menjawab tantangan ini. Sudah Jelas, Untuk menjawab kekosongan itu, maka solusinya adalah menghadirkan sebuah aturan.       

Di dalam permendikbud dijelaskan bahwa pemaksaan untuk melakukan sesuatu dari salah satu pihak tanpa adanya persetujuan dari pihak lain adalah bentuk pelanggaran—atau dikenal sebagai consent. Bukankah konsep seperti ini adalah hal dasar yang memang seharusnya kita lakukan dalam bermasyarakat?

Interpretasi tentang pelegalan zina dan LGBT adalah ketakutan yang dilebih-lebihkan, karena aturan ini tidak mengatur tentang itu, apalagi melegalkan asumsi tersebut. Penyimpulan seperti itu juga secara tidak langsung menuduh bahwa semua orang tidak memiliki akal untuk mengambil keputusan terhadap pilihan bagi dirinya sendiri.

Aturan ini juga tidak bisa untuk mengakomodir keinginan para penolak untuk mempertegas larangan terhadap tindakan seksual di luar institusi perkawinan karena peraturan ini khusus ditujukan kekerasan seksual di dalam lingkup kampus dan tindakan seksual diluar perkawinan sudah lama di atur di hukum pidana selama 150 tahun yang lalu.

Terakhir, Apakah jika aturan ini ditiadakan, juga turut menghapuskan secara langsung zina dan LGBT seperti yang diinginkan para penolak? Kan, tidak. Jangan sampai kita dibutakan atas kecurigaan yang tidak mendasar, hingga melupakan banyaknya korban yang terkatung-katung dengan kasusnya.

(4)

Beberapa klaim penolakan juga datang dari argumentasi bahwa ‘ah, ini hanya kepentingan para feminis saja’ tanpa mempertimbangkan defenisi feminisme seperti apa dan eskalasi fakta empiris yang sangat meningkat. Perpecahan lahir berdasarkan sentimen belaka tidak berasal dari substansi permasalahan. Tidak jarang terjadi perpecahan gerakan dan mengaburkan tujuan objektif. Padahal objektifitas dapat divalidasi dan ditelusuri berdasarkan realitas itu sendiri.

Feminisme adalah gerakan dan teori sosial yang memiliki sejarah perkembangan yang panjang. Di setiap zaman dan gelombang, ia saling berdialog, mengkritik, dan menciptakan arus-arus pemikiran baru untuk membedah ketidakadilan gender yang ada hingga hari ini. Jadi, titik berangkatnya adalah sebuah ketidakadilan yang diramu sebagai trajektori pengetahuan. Bukan asal punya agenda.       

Perjuangan terhadap Isu kekerasan seksual sebenarnya tidak hadir saat ini saja. Ia telah melalui banyak perkembangan dengan berbagai bentuk dari lintas zaman. Pemberontakan terhadap dominasi dan seruan untuk merdeka atas diri sendiri—yang jejaknya masih bisa dilacak- diawali oleh Mary astell pada abad ke-17 yang menuangkan pikirannya melalui a serious proposal to the ladies. Kemudian berselang satu abad setelahnya pemikiran ini menggema dengan kehadiran Mary Wollstonecraft sebagai pondasi feminisme kontemporer pada saat revolusi prancis. Ia berbicara dengan jelas dan kuat ditengah-tengah masyarakat yang semakin borjuis. Lalu disusul pada abad ke-19 yang dikenal sebagai abad reformasi perempuan dengan kemunculan para suffragettes di Langham Place dalam bentuk gerakan yang lebih terorganisir. Walaupun di serangkaian abad ini—yang disebut sebagai feminisme gelombang pertama- tidak merujuk secara eksplisit terkait kekerasan seksual, namun lebih ke marginalisasi pilihan dan tuntutan atas kemerdekaan diri sendiri. Tapi, bibit dan arsiran perjuangan itu telah tumbuh sedikit demi sedikit di sepanjang waktu tersebut.7

Barulah diakhir abad ke 20, pada feminisme gelombang kedua, gerakan dengan isu kekerasan seksual secara terang-terangan di suarakan, walaupun dalam skala yang kecil.8 Gelombang ini secara umum membahas tentang tubuh perempuan sebagai situasi penindasan yang diwarnai oleh pemikiran Somine de Beauvoir, betty friedan, dan Bell hooks.7 Tindak pidana pemerkosaan dianggap sebagai isu yang serius, karena memiliki dampak yang signifikkan bagi kondisi korban. Selain bertujuan untuk mengubah paradigma utama di masyarakat terkait tindak pidana pemerkosaan, gerakan ini juga bertujuan untuk untuk membangun solidaritas kepada korban. 9

Gerakan dengan isu ini terus berkembang di setiap zaman. Bahkan setelah meledaknya gerakan me too pada tahun 2017, dilabelkan sebagai identitas khas dari gerakan feminisme gelombang keempat yang lahir di abad ke-21. Gelombang keempat dicirikan dengan dua karakteristik yang khas yaitu metode penggunaan sosial media dan isu kekerasan seksual yang semakin variatif.

Gerakan yang terorganisir dan berkelanjutan adalah jalan untuk mencapai tujuan. Jalannya memang tidak mudah, karena isu kekerasan seksual menyentuh beberapa lapis hambatan seperti stigma negatif yang telah terbentuk tentang perempuan sebagai penggoda, pihak yang dikontrol seksualitasnya—yang berdampak pada pelanggengan budaya victim blaming– hingga pada lapis yang lebih luas yaitu negara yang tidak jarang lepas tangan pada penanganan kasus hingga pemulihan korban.

(5)

Perjuangan terhadap aturan yang dapat memudahkan korban untuk mencari keadilan adalah solusi konkret yang dapat dilakukan saat ini. Bercermin dari pengalaman sebelumnya, kekuatan propaganda dari gerakan akar rumput sangat rentan jika tidak diikuti oleh aturan yang mengikat sebagaimana aturan main dalam kehidupan bernegara, khususnya di Indonesia.

Selain itu, kita tidak boleh membiarkan negara untuk terus-terusan lepas tangan terhadap kasus kekerasan seksual dan secara serampangan memberikan beban tanggung jawab penyelesaian dalam tataran indivdu saja. Jika kita membiarkan hal ini, maka artinya sama saja dengan mendukung negara untuk melanggengkan kontrak sosial yang patriarkal. Padahal, pengabaian negara terhadap kasus kekerasan seksual, secara tidak langsung menegaskan bahwa negara juga terlibat dalam kekerasan tersebut dalam bentuk kekerasan struktural. Sebagaimana defenisi dari kekerasan struktural itu sendiri adalah memarjinalkan keseluruhan atau satu kelompok masyrakat dan mengurangi atau menghilangkan kesempatan hidup dasar.

Namun, perlu ditekankan bahwa perjuangan terhadap sebuah aturan hanyalah bersifat kuratif  tetapi tidak menyelesaikan akar permasalahan. Penyelesaian hingga ke akar masalah wajib diikuti dengan perubahan struktur masyarakat secara menyeluruh. Kita tidak bisa melihat kekerasan seksual hanya secara parsial karena ia adalah bagian dari sistem yang mengikat.

Sistem kapitalisme yang memiliki sifat dasar yang sangat patriarkal tidak akan bisa melindungi keberlangsungan hidup pihak yang rentan. Pengawalan terhadap aturan hanyalah menjadi langkah awal untuk melindungi relasi antara individu satu dengan individu lainnya, bukan menjadi solusi final dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Pendisiplinan seluruh aspek agar mengikuti logika pasar yang mengekang untuk kepentingan segelintir orang adalah masalah dasar yang harus terus beriringan dengan perjuangan kekerasan seksual. Setiap bentuk perjuangan terhadap ketidakadilan haruslah melibatkan penghukuman terhadap struktur yang menindas.

Menutup tulisan ini, saya ingin mengutip cara pandang Mansour Faqih bahwa alat analisis gender dapat digunakan untuk membedah masalah dan mengintervensi kebijakan, namun landasan pemikirannya haruslah menyentuh akar permasalahan dengan tujuan transformasi sosial.10

Daftar Pustaka :

  1. Kemendikbud. 2021. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi. Jakarta : Kementrian Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
  2. Ari Maryadi. 2019. Kronologi Kamera GoPro Ditemukan di Toilet Kampus UIN Alauddin Makassar, Disembunyikan Disini. (https://makassar.tribunnews.com/2019/11/08/kronologi-kamera-gopro-ditemukan-di-toilet-kampus-uin-alauddin-makassar-disembunyikan-disini, diakses 8 November 2019)
  3. Shinta Maharani. 2019. Kasus Agni UGM, Korban disalahkan hingga Depresi. (https://nasional.tempo.co/read/1174054/kasus-agni-ugm-korban-disalahkan-hingga-depresi, diakses 10 Februari 2019)
  4. Jadi Tersangka kasus pencabulan, Dosen UNP belum ditahan. 2020. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200221084805-12-476676/jadi-tersangka-kasus-pencabulan-dosen-unp-belum-ditahan, diakses 21 Februari 2020)
  5. Kemendikbud. 2021. Naskah Akademik Pendukung Urgensi Draft Peraturan Menteri tentang Pencegahan dan Penanggulanan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Jakarta : Kementrian Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
  6. Konsorsium #NamaBaikKampus. (https://www.vice.com/id/topic/namabaikkampus)
  7. Margaret Walters. 2020. Feminisme : Sebuah pengantar singkat.
  8. Donat, P.L., &D’emilio, J. (1992). A Feminist Redefinition of Rape and Sexual Assault: Historical Foundation and Change”. Journal of Social Issues.
  9. Linda Sudiono. 2021. Hukum dan Kekerasan Seksual : Apa yang diperjuangkan?. Indoprogress.
  10. Mansour faqih. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Leave a comment